mengenal 4 imam mazhab

1  IMAM HANAFI (80H - 150H)

A.    Tempat Lahir dan Silsilahnya

Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Nama beliau sejak kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang sudah menetap di Kufah.
Pada masa beliau dilahirkan pemerintah Islam berada ditangan Abd. Malik bin Marwan, Raja Bani Umayyah yang ke-5.
Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena di antara putranya ada yang bernama Hanifah. Ada lagi menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena begitu taatnya beliau beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab Haniif yang berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain pula, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.

B.     Kecerdasan Imam Hanafi
Kecerdasan Imam Hanafi dapat kita ketahui melalui pengakuan dan pernyataan para ilmuan, di antaranya :
1.      Imam Ibnul Mubarak pernah berkata: “Aku belum pernah melihat seorang laki-laki lebih cerdik daripada Imam Abu Hanifah”.
2.      Imam Ali bin Ashim berkata: “Jika sekiranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkannya.”
3.       Raja Harun al-rasyid pernah berkata: “Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya”.[1]
4.      Imam Abu Yusuf berkata: “Aku belum pernah bersahabat dengan seorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah.”
Terlepas dari pernyataan diatas, kita pun tentu dapat membayangkan, bahwa bagaimana mugkin beliau dikenal sebagai orang mujtahid, bila tidak memiliki kecerdasan dan pandangan luas dalam menetapkan suatu hukum.

C.    Kepandaian Imam Hanafi Tentang Fiqh
Imam Hanafi dikenal sangat rajin menuntut ilmu. Semua ilmu yang bertalian dengan keagamaan, beliau pelajari. Mula-mula ia mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi dalam bahasan ini, difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan beliau sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqh yang mengandung berbagai aspek kehidupan.
Imam hammad bin Abi Sulaiman, adalah seorang guru beliau sering mewakilkan kepada beliau dalam mengajarkan agama dan memberikan fatwa. Kepercayaan ini diberikan, karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam menghapus masalah fiqh.
Imam Maliki pernah ditanya orang: “ Pernahkah anda melihat Imam Abu Hanifah?”.” Ya. Saya pernah melihatnya. Ia adalah seorang laki-laki, jika anda berbicara tentang tiang ini supaya ia jadikan emas, nicaya dia akan memberikan alasan-alasannya”.
Imam Syafi’i pernah berkata: “Manusia seluruhnya adalah menjadi keluarga dalam ilmu fiqh dan menjadi anak buah Imam Abu Hanifah”.
Pengakuan dan pernyataan Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai kepandaian Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh, sudah cukup dijadikan alasan, bahwa betapa luas pandangan beliau dalam mengulas hukum-hukum Islam.[2]

D.    Dasar-dasar Mazhab Imam Hanafi
Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi.



Sehingga dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum adalah:
Ø  Al-Kitab
Al-Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam yang memberi sinar pembentukan hukum Islam akhir zaman. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
Ø  As-Sunnah
As-sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-kitab, merinci yang masih bersifat umum. Siapa yang tidak mau berpegang kepada as-sunnah tersebut berarti orang tersebut tidak mengakui kebenaran risalah Allah yang beliau sampaikan kepada ummatnya.
Ø  Aqwalush Shahabah ( Perkataan Sahabat)
Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu menyampaikan risalah Allah, mereka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Quran ( walaupun tidak semua sahabat mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana kaitan hadits nabi dengan ayat-ayat al-Quran yang diturunkan itu.
Ø  Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas, apabila ternyata dalam al-Quran, Sunnah atau perkataan Sahabat tidak beliau temukan. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukum-nya kepada nash yang ada setelah memperhatikan illat yang sama antara keduanya.[3]
Ø  Al-Istihsan
Al-Istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari al-Qiyas. Penggunaan ar-Ray’u lebih menonjol lagi. Istihsan menurut bahasa berarti “menanggap baik” atau “mencari yang baik”. Menurut istilah ulama Ushul Fiqh, Istihsan adalah meninggalkan ketentuan qiyas yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya.
Ø  ‘Urf
Pendirian beliau ialah, mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka.
Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam al-Quran , Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas), beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada ‘urf manusia.

2.2  IMAM MALIKI BIN ANAS (93 H-179 H)
A.    Tempat lahir dan silsilahnya
Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M). Nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah lalu berdiam disana. Kakenya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi selain perang Badar.
Pada masa Imam Maliki dilahirkan, Pemerintahan Islam ada ditangan kekuasaan kepala negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayah yang ketujuh). Kemudian setelah beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal dimana-mana, pada masa itu pula penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin. Buah hasil ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan mazhab Imam Maliki.[4]

B.     Pendidikan Imam Maliki
Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, di antara para tabiin, para cerdik pandai dan para ahli hukum agama. 
Guru beliau yang pertama adalah Abdur Rahman Ibnu Hurmuz, beliau dididik ditengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil beliau membaca al-Quran dengan lancar diluar kepala dan mempelajari pula tentang Sunnah dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada ulama dan fuqaha.

Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghapalkan pendapat-pendapat dari mereka, menaqal atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semuanya itu.

C.    Dasar-dasar Mazhab Imam Maliki
            Dasar-dasar hukum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Maliki dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Kitab Allah (al-Quran)
b.      Sunnah Rasul yang telah beliau pandang sah.
c.       Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadis apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
d.      Qiyas
e.       Istishlah adalah mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang blum diyakini. Adapun Mashalihuk Mursalah ialah memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak mahluk.
Demikianlah dasar-dasar yang diambil oleh Imam Maliki.[5]

D.    Cara Imam Maliki Memberi Fatwa
Imam maliki adalah seorang yang terkenal alim besar, tetapi amat berhati-hati dan amat teliti dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan riwayat yang dikatakan hadits dari Nabi. Ringkasnya bahwa cara-cara beliau memberi fatwa bisa dilihat dari cara beliau memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan kepada beliau.
Imam Syafi’i berkata: “sungguh aku telah menyaksikan Imam Maliki, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak empat puluh delapan masalah, beliau menjawab “saya belum tahu”.
Dari pernyataan ini jelaslah, bahwa beliau adalah seorang yang amat berhati-hati menjawab masalah yang bertalian dengan hukum-hukum keagamaan dan beliau tidak terburu-buru memberi jawaban terhadap masalah-masalah yang memang belum diketahui hukumnya oleh beliau. 

E.     Pesan Imam Maliki Mengenai Bid’ah
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa Imam Maliki adalah seorang alim besar yang amat cinta kepada sunnah Nabi SAW. Dan sangat benci terhadap orang yang membuat model baru tentang urusan agama dan perbuatan yang dalam istilah agama disebut dengan bid’ah.
Beliau sangat keras terhadap bid’ah dan ahli bid’ah, antara lain: beliau pernah bersyair yang artinya: “sebaik-baik urusan agama itu adalah yang mengikuti sunnah nabi dan sejelek-jelek urusan agama itu, adalah perbuatan yang baru”. Artinya bahwa sebaik-baik urusan agama mengenai peribadatan adalah yang mengikuti pimpinan nabi atau sunnah nabi dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari nabi dan tidak pernah pula dikerjakan oleh nabi.[6]

F.     Nasihat Imam Maliki Terhadap Sikap Taqlid
Sebagaimana mufti besar dan sebagai seorang alim, ahli hadits beliau tidak pernah mengajarkan atau memberikan pimpinan kepada muridnya supaya mengekor (bertaqlid) terhadap pendapat atau buah penyidikan beliau bahkan amat berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal dan haram dan sangat melarang orang bertaqlid buta, dan sebagai bukti, dibawah ini ada pesan beliau.
Imam Maliki pernah berkata: “ saya seorang manusia, dan saya terkadang salah terkadang benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, jika sesuai dengan alquran dan sunnah maka ambillah dia dan jika tidak sesuai maka tinggalkanlah.

2.3  IMAM SYAFI’I (150 H- 204 H)
A.    Tempat kelahiran dan silsilahnya
Imam Syafi’i dilahirkan di Guzzah suatu kampung dalam jajahan Palestina, masih wilayah Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaan dengan wafatnya Imam Hanafi. Kemudian beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan disana.
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i al-Muthalibi dari keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, yaitu kakek yang keempat dari Rasul dan kakek yang kesembilan dari as-Syafi’i.
Dengan demikian jelaslah bahwa beliau itu adalah keturunan dari keluarga bangsa Quraisy, dan keturunan beliau bersatu dengan keturunan Nabi SAW. Pada Abdul Manaf ( datuk nabi yang ke-3).

B.     Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i
As-Syafi’i selain mengadakan hubungan yang erat dengan para gurunya di Mekkah dan Madinah juga melewatkan ke berbagai negeri.[7]
Diwaktu kecil beliau melewat ke perkampungan Huzail dan mengikuti mereka selama sepuluh tahun, dan dengan demikian Syafi’i memiliki bahasa Arab yang tinggi yang kemudian digunakan untuk mentafsirkan al-Quran. Kemudian beliau melewat ke Madinah untuk mempelajari fiqh dan hadits dan masih banyak lagi kota yang beliau masuki dalam rangka studi.
Beliau belajar pada fiqh pada Muslim ibn Khalid dan mempelajari hadits pada Sofyan Ibn Uyainah guru hadits di Mekkah dan pada Maliki ibn Annas di Madinah. Pada masa itu pemerintahan berada di tangan Harun ar-Rasyid dan pertarungan sedang menghebat antara keluarga Abbas dan keluarga Ali.
Pada waktu itu pula asy-Syafi’i dituduh memihak kepada keluarga Ali, dan ketika pemuka-pemuka Syi’ah digiring kepada khalifah pada tahun 184 H, beliau turut digiring bersama-sama. Tetapi karena rahmat Allah beliau tidak menjadi korban pada waktu itu.
Kemudian atas bantuan al-Fadlel ibn Rabie, yang pada waktu itu menjabat sebagai perdana menteri ar-Rasyid, ternyata bahwa beliau bersih dari tuduhan itu.
Dalam suasana ini lah asy-Syafi’i bergaul dengan Muhammad Hasan dan memperhatikan kitab-kitab ulama Irak. Setelah itu asy-Syafi’i kembali ke Hijaz dan menetap di Mekkah. Pada tahun 195 H beliau kembali lagi ke Irak sesudah ar-Rasyid meninggal dunia dan Abullah ibn al-Amin menjadi khalifah.

C.    Kecerdasan Imam Syafi’i
Kecerdasan Imam Syafi’i dapat kita ketahui melalui riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i pada usia 10 tahun sudah hapal dan mengerti kitab al-Muwaththa” kitab Imam Maliki. Karena itulah ketika belajar ilmu hadits kepada Imam Sofyan bin Uyainah, beliau sangat dikagumi oleh guru besar ini dan selanjutnya beliau dapat menempuh ujian Ilmu Hadits serta lulus mendapatkan ijazah tentang ilmu hadits dari guru besar tersebut.[8]
Kemudian setelah beliau berumur 15 tahun, oleh para gurunya beliau diberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa kepada khalayak ramai. Beliau pun tidak keberatan menduduki jabatan guru besar dan mufti di dalam Mesjid al-Haram di Mekkah dan sejak saat itulah beliau terus memberi fatwa.
Tetapi walaupun demikian beliau tetap belajar ilmu pengetahuan di Mekkah. Semenjak itu pula orang-orang kepada Imam Syafi’i dan orang yang berdatangan itu bukanlah orang sembarangan, tetapi terdiri dari para ulama, alhi sya’ir, ahli kesusastraan Arab, dan orang-orang terkemuka, karena dada beliau pada waktu itu telah penuh dengan ilmu-ilmu.

D.    Kitab-kitab karangan asy-Syafi’i
Kitab yang pertama kali dibuat oleh Imam asy-Syafi’i ialah ar-Risalah yang disusun di Mekkah atas permintaan Abdur Rahman Ibn Mahdi. Di Mesir beliau mengarang kitab-kitab yang baru yaitu al-Umm, al-Amali dan al-Imlak.
Al-Buaithi mengikhtisarkan kitab-kitab asy-Syafi’i dan menamakannya dengan al-Mukhtasar, demikian juga al-Muzani.
Kitab yang ditulis di Mesir bukanlah kitab yang dipandang baru sama sekali, tetapi kitab-kitab di Mesir itu merupakan perbaikan dan penyempurnaan, penyaringan dan pengubahan dari ktab-kitab yang disusun di Baghdad berdasarkan kepada pengalaman-pengalaman baru.
Ahli sejarah membagi kitab-kitab asy-syafi’i kedalam dua bagian yakni:pertama, dinisbatkan kepada asy-Syafi’i sendiri seperti kitab al-Umm dan ar-Risalah. Kedua, dinisbatkan kepada sahabat-sahabatnya seperti Mukhtasar al-Muzani dan Mukhtasar al-Buaithi.

E.     Pendapat-pendapat asy-Syafi’i dan pemikirannya
Mengingat luasnya buah pikiran Imam Syafi;i tentang segala aspek ilmu pengetahuan, maka dalam uraian ini penulis hanya mengetengahkan pendapatnya secara ringkas dalam bidang imamah, bidang ilmu kalam maupun aqaid.
Adapun masalah pikirannya bisa dilihat dari mazhab-mazhab qadim dan mazhab jadidnya. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa pendapatnya.
Asy-Syafi’i tidak menyukai ilmu kalam karena ilmu kalam itu dibangun oleh golongan Muktazilah, sedang mereka menyalahi jalan yang ditempuh ulama salaf dalam mengungkapkan akidah dan al-Quran. Sebagai seorang Fiqh/Muhaddits tentu saja beliau mengutamakan Ittiba’ dan menjauhi ibtida’sedang golongan Muktazilah mempelajarinya secara falsafah.

F.     Pendirian Imam Syafi’i Tentang Bid’ah
Karena Imam Syafi’i terkenal sebagai pembela Sunnah dan termasuk seorang ahli hadits, maka sudah barang tentu beliau sangat keras terhadap perbuatan bid’ah dan ahli bid’ah. Pendiriannya tentang bid’ah adalah sebagai berikut: Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.

G.    Nasihat Imam Syafi’i Tentang Taqlid
Terhadap masalah taqlid ini beliau seringkali memberi peringatan dan pimpinan kepada para sahabat dan muridnya, yaitu mereka jangan hendaknya mengikut saja dalam masalah agama kepada perkataan beliau yang tidak di sertai keterangan atau alasan terang dari al-Quran dan Sunnah.
Diantara nasihat beliau tentang taqlid ini beliau pernah berkata kepada Imam ae-rabi’: “ Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaqlid kepadaku, dalam tiap-tiap yang aku katakan, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena sesungguhnya ia adalah urusan agama.
H.    Dasar-dasar Hukum yang Dipakai Oleh Imam Syaf’i
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
1.      Al-Quran, beliau mengambil dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
2.      As-Sunnah, beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3.      Ijmak dalam arti,bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya.

4.      Qiyas: Imam Syafi’i memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas tidak tercantum juga dalam keadaan memaksa.
5.      Istidlal ( istishhab).

2.4  IMAM AHMAD BIN HAMBALI ( 164 H - 241 H)
A.    Tempat Kelahiran dan Silsilahnya
Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdil-lah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Addahili as-Syaibani al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H.
Ayahandanya bernama Muhammad as-Syaibani, sedangkan ibu beliau bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkmuka kaum bani Amir.
Ayah beliau meninggal ketika berusia 30 tahun, dan beliau masih anak-anak pada masa itu, sebab itulah sejak kecil beliau tidak pernah diasuh ayahnya, tetapi hanya oleh ibunya.

B.     Pendidikan yang Diperoleh Imam Hambali
Kota Baghdad pada waktu itu selain merupakan kota yang besar dan ramai, juga merupakan pusat ilmu pengetahuan dan satu-satunya kota yang sudah maju, dan merupakan tempat para terpelajar.
Oleh sebab itu Imam hambali pertama kali belajar ilmu pengetahuan Agama dan alat-alatnya kepada para guru dan para ulama di Baghdad. Kemudian setelah berusia 16 tahun, barulah beliau menuntut ilmu pengetahuan ke luar kota Baghdad seperti ke Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinh. Di tiap-tiap kota yang didatanginnya, tidak segan-segan beliau belajar pada para ulama, terutama pengetahuan hadits.

C.    Pendapat-pendapat Imam Hambali
Imam Hambali bukan dari golongan orang yang membenarkan pebdapat-pendapat akal secara mutlak, tanpa bersandar kepada al-Quran dan Sunnah dan sama sekali tidak mau berdebat. Karena menurut pendapatnya bahwa kebenaran itu akan pudar cahayanya karean perdebatan.[9]
Pada waktu Imam Hambali sedang mempelajari Sunnah, ilmu agama dan fiqhnya melalui jalan-jalan yang diterima dari Rasul, pada saat itu pula terjadi perdebatan dalam masalah aqaid dan masalah Khalifah, siapa yang lebih utama dari para sahabat. Sebenarnya Imam Hambali tidak suka dan tidak mau memperdebatkan hal itu, tetapi suasana dan keadaanlah yang memaksa Imam Hambali mencampurinya.

D.    Nasihat Imam Hambali mengenai Taqlid
Imam Hambali adalah seorang ahli sunnah dan ahli Atsar dan beliau terkenal sangat keras pendiriannya terhadap ra’yu dengan demikian beliau melarang keras perbuatan taqlid dan orang yang bertaqlid dalam urusan agama.

E.     Dasar-dasar Hukum Imam Hambali
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar berikut:
1.      Nash al-Quran dan Hadits
2.      Fatwa sahaby
3.      Pendapat sebagian sahabat
4.      Hadits Mursal atau hadits daif
5.      Qiyas

Komentar

Postingan Populer